Pembunuhan di Rue Morgue

Senin, 19 November 2012
Ketika sedang menghabiskan musim panas di Paris, di sanalah saya bertemu dengan Auguste Dupin. Dia seorang anak muda yang cerdas dan juga pencinta buku. Pertemuan kami yang pertama berlangsung di perpustakaan. Kami selalu bertemu dan akhirnya berkawan. Dupin banyak memperlihatkan kepada saya pemandangan-pemandangan indah kota Paris, di saat kami menghabiskan waktu sepanjang sore.

Sore yang cerah, di sebuah kafe, pandangan kami tertuju pada berita di sebuah surat kabar:

"PEMBUNUHAN MISTERIUS: Sepanjang malam penduduk Rue Morgue tak dapat tidur tenang karena tangisan yang menakutkan. Tangisan itu konon berasal sebuah rumah besar yang angker-di mana di situ pernah tinggal Madame L'Espanaye dan putrinya, Camille. Para penduduk kemudian mendobrak rumah itu dan tangisan itu terhenti. Tapi, tiba-tiba terdengar suara orang menghardik. Suara-suara itu pun dengan cepat terhenti. Penduduk kemudian lari ke arah tangga dan melihat ruangan yang terdiri dari tiga lantai yang kosong. Lalu mereka menuju ke sebuah ruangan besar di belakang rumah. Ada pintu di situ. Ketika pintu itu didobrak terlihat sebentuk cahaya yang menyilaukan.

Ruangan itu penuh rongsokan. Mebel-mebelnya banyak yang sudah hancur. Sebilah pisau yang masih bersimbah darah, tergeletak di atas kursi. Seorang wanita dengan rambut panjang keabu-abuan, terbaring di atas ranjang. Di lantai, ada perhiasan, sendok-sendok perak, dan tiga tas berisi koin-koin emas.

Mayat gadis itu, anak perempuan Madame L' Espanaye, Camilla, ditemukan terbaring dalam corong cerobong asap. Sepertinya dia terdorong dengan keras hingga menurun ke bawah. Untuk mengeluarkannya dibutuhkan tenaga enam pria kekar dari corong cerobong asap. Di sekitar leher wanita itu terdapat tanda bekas cekikan yang berasal dari genggaman tangan yang sangat besar dan kuat. 

Ketika penduduk meninggalkan rumah itu dan pergi ke jalan yang sunyi di belakang rumah, di sana terbaring mayat wanita tua yang tak lain adalah Madame L' Espanaye. Lehernya seperti habis terpenggal. Dan ketika penduduk memindahkan mayat itu, kepalanya terjatuh dari pangkal lehernya…"

Koran tersebut menjelaskan pembunuhan yang mengerikan itu dengan detail. "Wanita tua itu dan putrinya," berita itu berlanjut, "mereka tinggal berdua dan sepertinya bahagia. Beberapa orang yang pernah bertamu dan mengunjungi mereka menyatakan bahwa mereka begitu bahagia sehingga kelihatannya tidak punya musuh.

Tiga hari sebelum kematiannya Madame L' Espanaye pergi ke bank. Seorang anak muda, Adolphe Le Bon, hendak membayar kepadanya senilai 300 francs dalam bentuk koin emas. Dia pergi ke rumah tua itu dengan Madame L' Espanaye sambil membawa tas besar berisi koin-koin emas…Pembunuhnya semula diduga mengincar koin-koin itu- tapi setelah diselidiki dia ternyata tak mengambilnya sepeser pun.

Dua suara hardikan yang terdengar di rumah tua itu sampai sekarang masih menjadi misteri. Penduduk sekitar mengira suara tersebut yang satunya mirip logat orang Perancis. Mereka mendengar suara seorang pria berseru: "Mon Dieu!" (Demi Tuhan!) Tapi mereka tak bisa menjelaskan seperti apa suara orang yang kedua. Tak ada yang bisa dijelaskan kecuali suara itu begitu nyaring dan bernada penuh amarah.

Hanya satu yang bisa dijadikan petunjuk: pembunuhnya adalah seorang yang sangat besar dan kuat."

Kemudian, surat kabar itu melaporkan Adolphe Le Bon-anak muda dari bank itu-masuk penjara. "Tapi, polisi tak berhasil menemukan bukti-bukti kuat yang menunjukkan anak muda itu sebagai pembunuhnya. Kasus ini masih menyisakan misteri."

***

Dupin tertarik pada kasus ini. "Katakan pendapatmu tentang pembunuhan ini!" sahut Dupin kepada saya. "Mereka tidak pernah menemukan pembunuhnya. Tidak mungkin," jawab saya. "Saya tidak setuju," balas Dupin. "Polisi kota Paris biasanya pandai-pandai, meski mereka tak selalu melakukan sesuatu dengan benar. Coba kita bersama-sama mempelajari kasus ini. Besok kita bersama-sama meninjau rumah itu."

Keesokan harinya kami pergi ke Rue Morgue. Dupin mempelajari dengan teliti bagian belakang rumah tua itu. Kemudian kami memasuki rumah itu. Seorang polisi mengantarkan kami naik ke bagian atas rumah, tempat dimana wanita itu ditemukan terbunuh. Dupin mengamati benda-benda dalam ruangan itu dengan cermat. Kami kemudian meninggalkan rumah itu menjelang petang. Dalam perjalanan pulang, Dupin membeli koran. Nampaknya koran hari ini tak lagi menurunkan berita tentang pembunuhan misterius itu. Pulang dari sama kami ke rumah Dupin. Kami lalu duduk-duduk di beranda rumah Dupin. Sekonyong-konyong Dupin berkata, "Akhirnya saya menemukan jawabannya."

"Jawaban apa?" tanyaku.

"Ya, saya sedang dalam kondisi menunggu lelaki pembunuh itu," Dupin melanjutkan, seraya berjalan ke arah pintu. "Dia sesungguhnya tahu banyak tentang kasus ini, tapi kemungkinan jelas bukan dia pembunuhnya. Dia datang ke ruangan itu dalam beberapa menit. Sementara itu pintu depan dalam keadaan tak terkunci. Dia, si pembunuh itu dapat masuk dengan mudah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun…"

Dupin mengambil dua pistol dari lacinya. Dia memberikan satu untuk saya.

"Satu hal yang pasti," ujar Dupin. "Wanita tua itu tak mungkin membunuh putrinya sendiri lalu dia bunuh diri. Dia tak terlalu kuat untuk mendorong anak gadisnya ke dalam corong cerobong asap. Tak mungkin hal itu dilakukan seorang wanita. Pelakunya pasti seorang laki-laki. Wanita itu terbunuh oleh orang lain. Barangkali suara-suara aneh dari atas loteng itulah suara sang pembunuh. Ini pasti menakutkan dan belum jelas apakah suara itu suara laki-laki atau perempuan…"

"Pembunuhnya pasti masih ada di dalam ruangan itu ketika orang-orang mendobrak pintunya. Tapi ketika mereka berhasil membuka ruangan itu, dia sudah pergi. Pintu dan jendela-jendela terkunci dari dalam. Jadi, bagaimana si pembunuh itu bisa kabur? Kubilang kepadamu-pasti dia kabur lewat jendela! Si pembunuh memanjat keluar dengan cepat dari ruangan ini dan jendela segera ditutup rapat-rapat. Daun jendela tertutup secara otomatis. Si pembunuh lalu memanjat turun ke bawah sampai ke dalam pipa di bawah jalan-dan kabur."

"Tapi bagaimana pembunuh itu bisa masuk ke dalam?" tanya saya.

"Bagaimana dia bisa masuk tentu saja dengan cara yang sama," jawab Dupin sambil tersenyum. "Di sana ada daun penutup jendela, dekat pipa," jelasnya.

"Si pembunuh masuk dengan cara memanjat pipa. Lalu dia membuka perlahan daun jendela dan melompat masuk ke dalam ruangan. Tapi kelakuan si pembunuh sangat aneh-bahkan tidak mungkin juga dilakukan oleh seorang pria. Sedangkan suara yang aneh dari dalam rumah itu saya rasa bukan suara manusia," lanjut Dupin.

Saya bergidik.

"Maksud kamu?"

Dupin menunjukkan kepada saya beberapa helai rambut. "Kuambil ini – barangkali dari tangan mayat Madame L'Espanaye. Aku menduga dia pasti memegangnya di antara jari-jarinya," kata Dupin. "Nah, katakan, apa pendapatmu?"

"Dupin! Itu rambut binatang!" saya berseru.

Pembunuhan di Rue Morgue
credit photot: wikipedia.
"Ya, dan bekas-bekas jari di lehernya pasti berasal dari cengkeraman seekor hewan. Dan akhirnya saya tahu wanita tua itu terbunuh dengan tangan kuat dari seekor kera yang besar,"

"Seekor kera! Saya tidak mengerti. Darimana datangnya binatang itu?" tanya saya.

"Mungkin milik orang Perancis itu. Ingat, tetangga sekeliling rumah itu mendengar jeritan suara laki-laki: Mon Dieu! Ada dua petunjuk bahwa orang Perancis itu tahu persis tentang pembunuhan itu. Kera besar itu mungkin kabur darinya. Dan lelaki itu mengikuti binatang itu sampai ke dalam rumah tapi ia tak berhasil menangkapnya.
Dan, sekarang kera itu bebas. Apabila orang Perancis itu menginginkan kera besar itu, dia pasti kembali lagi ke rumah Madame L'Espanaye. Menduga kera itu masih bersembunyi di situ. Dan dalam perjalanan pulang dari rumah itu kemarin, saya melihat pengumuman ini di koran," Dupin menunjukkan pada saya.

Di situ terbaca:

Tertangkap di The Bois de Boulogne, seekor kera berbulu lebat dan besar. Pemiliknya seorang pelaut dari kapal Maltese dan ia membawanya dari India Timur. Dia akan mengambilnya pada panggilan jam tiga tepat.

"Tapi, bagaimana kau tahu lelaki itu adalah seorang pelaut dari kapal Maltese?" tanya saya.

"Saya baru menduganya - tapi saya yakin lelaki itu pasti dia. Saya kebetulan menemukan label dari mantel pelaut yang robek dan tertinggal di pipa. Label itu menunjukkan nama kapal Maltese. Kapal Maltese datang dari India Timur dan binatang itu adalah adalah kera dari India Timur."

"Lelaki itu-si pelaut mungkin takut kepada polisi," lanjut Dupin. "Dan dia tak berani datang ke rumah itu. Polisi tak bakal menduga pembunuhnya adalah seekor binatang," kata Dupin. "Tapi, pelaut itu pasti datang ke rumah. Kera itu sangat berharga baginya."

***

Kami pergi ke rumah itu. Di dalam kami mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. "Bersiap-siaplah dengan senjatamu," bisik Dupin. "Tapi jangan sekali-sekali menggunakannya sampai kuberi tanda."

Orang itu berjalan dengan perlahan menaiki tangga. Tak lama kemudian dia turun kembali. Dupin dengan cepat membuka pintu. "Kemari!" panggilnya. Pelaut itu masuk. Sosoknya tinggi dan besar. "Selamat malam," dia berkata dengan logat Perancisnya yang kental.

"Duduklah," kata Dupin. "Saya menduga pasti Anda datang untuk kera itu, bukan begitu? Ya, ini adalah binatang yang sangat berharga."

"Bagaimana kamu mendapatkannya?" tanya pelaut itu.

"Kami tidak berhasil mengurungnya di rumah ini," jawab Dupin. "Barangkali dia masih di sekitar sini. Anda dapat mengambilnya besok," lelaki itu menawarkan uang kepada Dupin agar ia menemukan kera itu.

"Saya tidak membutuhkan uang, kawan. Jelaskan saja bagaimana pembunuhan di Rue Morgue bisa terjadi," kata Dupin.

Wajah lelaki pelaut itu pucat.

"Jangan takut, kawan," kata Dupin. "Saya tahu bukan kamu pembunuhnya. Tapi, pasti kamu mengetahui peristiwa pembunuhan itu. Ceritakan saja. Seorang laki-laki tak bersalah sekarang ada di penjara. Anda masih punya kesempatan untuk menyelamatkannya. Sekarang anda tinggal jelaskan saja siapa pembunuh yang sebenarnya."

Lelaki pelaut itu terdiam dan berpikir sejenak. "Oh, Tuhan, tolonglah!" katanya. "Tapi…baiklah, aku akan cerita. Tapi aku tak yakin kau akan mempercayainya… Beberapa hari yang lalu kapal kami pergi menuju India Timur. Sebelumnya kami berlabuh di Borneo. Pelaut yang lain menangkap seekor kera. Tapi beberapa saat kemudian pelaut kawanku itu tewas. Binatang itu akhirnya menjadi milikku. Kera itu sangat buas dan berbahaya. Tapi saya tetap akan membawanya pulang ke rumah dalam kapal. Aku masukkan hewan itu ke dalam sebuah kamar penginapan. Kusembunyikan dia di dalam ruangan yang terkunci. Aku ingin menjual kera itu. Pada suatu malam ketika aku pulang dari pertemuan para pelaut, paginya aku melihat kera itu di atas ranjang. Dia sedang bermain-main dengan pisau belati. Aku menjerit dan melemparkan tongkat ke arahnya. Dan ketika dia melihat tongkat itu melayang ke arahnya, dia berlari ke arah tangga dan melompat dari jendela turun ke jalan. Kuikuti dia dan aku berusaha keras menangkapnya. Kera itu kabur sambil menggenggam pisau di tangannya. Masih kuingat dia sempat menatap ke arahku lalu berlari secepat-cepatnya. Waktu itu aku masih ingat, menunjukkan jam tiga pagi. Hewan itu berlari kencang di atas jalan raya yang sepi, di belakang sebuah rumah di Rue Morgue. Aku melihat ada secercah cahaya dari jendela yang terbuka dari kamar Madame L' Espanaye. Kera itu berlari ke arah gedung dan memanjat pipa. Dia melompat masuk ke rumah melalui pintu jendela yang terbuka. Dengan cepat kuikuti binatang itu. Aku ingin memanjat pipa itu tapi aku tidak melompat ke dalam ruangan. Aku hanya melihat apa yang terjadi di balik jendela meski hampir jatuh membentur tanah! Ada dua wanita di atas ranjang. Kera itu melompat ke arah mereka dan mengeluarkan suara-suara gaduh. Rambut Madame L' Espanaye terjambak oleh kera itu. Wanita itu berteriak dan bergumullah dia dengan kera itu. Kera itu nyaris memotong lehernya dengan pisau, sampai akhirnya kepala wanita itu benar-benar terpotong. Kera itu turun dan melihatku dari jendela. Dia semakin panik. Aku sendiri panik setelah melihat peristiwa pembunuhan itu di depan mataku. Aku dorong mayat putrinya ke dalam cerobong asap. Lalu kudorong tubuh wanita tua itu keluar jendela…setelah itu aku memanjat turun ke bawah melalui pipa dan pulang ke rumah."

***

Dan, misteri itu pun akhirnya terjawab. Suara-suara tangisan yang terdengar dari rumah itu adalah suara pelaut Perancis dan suara gaduh itu berasal dari kera. Kami kemudian menceritakannya kepada polisi.

Mereka lalu membebaskan Le Bon dari penjara. Untunglah pelaut Perancis itu tidak ditangkap. Berhari-hari kemudian akhirnya ia berhasil menangkap kera itu dan menjualnya.[]

Detak Jantung dan Hati yang Meracau

Sabtu, 03 November 2012
Detak Jantung dan Hati yang Meracau
Memang benar! Aku gelisah, sangat-sangat gelisah pada waktu itu -- sekarang pun masih. Namun, mengapa kalian menyebutku gila? Rasa sakit menajamkan inderaku, bukan melemahkannya. Apalagi, membuatnya tumpul. Dibanding indera lainnya, indera pendengaranku paling tajam. Aku mendengar semua hal di langit dan di bumi. Aku mendengar suara di neraka. Bagaimana bisa aku disebut gila? Dengarlah! Kalian akan tahu betapa warasnya aku. Betapa tenangnya aku. Akan kuceritakan kepada kalian seluruh detail kejadiannya.

***

Sulit menceritakan bagaimana mula-mula pikiran itu menyusup dalam benakku. Namun, begitu masuk, pikiran memburuku siang malam. Tak ada niat dan aku tak ada dendam padanya. Aku mencintai orang tua itu. Ia tak pernah berbuat salah kepadaku. Juga tak pernah melukai hatiku. Emasnya pun tak kuinginkan. Kupikir yang menjadi persoalan adalah matanya. Hmm, ya, matanya! Salah satu bola matanya menyerupai mata burung pemangsa – mata yang biru dan berselaput. Setiap kali mata itu menatapku, darahku terasa beku. Dan sedikit demi sedikit -- secara berangsur-angsur -- aku membulatkan hati untuk membunuhnya. Sehingga, terbebas selamanya dari sergapan mata burung pemangsa itu.

Di sinilah pangkal soalnya. Kau akan menganggapku gila. Semua orang gila pasti tidak tahu apa-apa. Namun kau akan melihat bagaimana aku melakukannya. Kau akan melihat betapa cerdiknya aku menyelesaikan pekerjaanku -- begitu rapi, terencana. Kemudian, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Aku menjadi lebih manis kepada oang tua itu pada seminggu terakhir sebelum aku membunuhnya. Setiap malam, menjelang tengah malam, aku memutar gagang pintu kamarnya dan membukanya -- hmm, begitu hati-hati. Dan kemudian ketika pintu kamar itu terkuak dan cukup bagiku untuk memasukkan kepala, kumasukkan lentera berkatup yang kurapatkan semua lempengan katupnya. Sehingga, tidak ada sinar yang menerobos keluar dari lentera itu. Lalu, kusorongkan kepalaku ke dalam. Oh, kau pasti terkejut melihat betapa cerdiknya aku menyusupkan kepala. Semua kulakukan pelan-pelan, sangat-sangat pelan. Sehingga, tidak mengganggu tidur orang tua itu. Kuperlukan satu jam untuk menempatkan posisi kepala sebaik-baiknya di celah pintu. Sehingga, aku bisa leluasa melihat orang tua itu berbaring di ranjangnya. Nah, bisakah orang gila melakukan pekerjaan secerdik ini? Dan ketika kepalaku sudah leluasa, aku membuka katup penutup lentera dengan hati-hati -- begitu hati-hati -- jangan sampai engsel katupnya berderit. Aku membuka seperlunya saja, cukup agar seberkas tipis cahaya bisa menerangi mata burung pemangsa itu. Dan pekerjaan seperti ini kulakukan selama tujuh malam berturut-turut, tiap datang tengah malam. Namun, selalu kujumpai mata itu tertutup. Dalam keadaan seperti itu tentu mustahil melanjutkan rencanaku. Karena, bukan orang tua itu yang membangkitkan marahku. Tapi, mata itu! Pagi harinya, di saat fajar, sengaja kudatangi kamarnya. Kuajak ia bercakap-cakap, kusapa namanya penuh semangat. Kutanya pula apa tidurnya nyenyak semalam. Dengan demikian, kau tahu, diperlukan kecerdasan tertentu pada si tua itu untuk menduga bahwa setiap malam, tepat pukul dua belas, aku selalu mengamatinya ketika ia tidur.

Pada malam ke delapan aku membuka pintu lebih hati-hati ketimbang malam-malam sebelumnya. Jarum menit jam dinding, bahkan lebih cepat ketimbang gerakan tanganku. Baru pada malam itu aku merasakan begitu besarnya kekuatanku -- begitu cerdiknya akalku. Hampir aku tidak bisa menahan luapan perasaan menangku. Membayangkan diriku sendiri sedang menguakkan pintu, sedikit demi sedikit, dan orang tua itu bahkan tidak pernah berkhayal tentang apa yang kulakukan dan apa yang kupikirkan. Aku tergeletak dengan lintasan pikiran ini. Mungkin, ia mendengar suaraku. Karena, tiba-tiba, ia menggerakkan tubuhnya seperti orang terkejut. Sekarang kau pasti berpikir bahwa aku akan mundur. Tidak! Kamarnya gelap pekat, jendelanya tertutup rapat. Karena itu, aku tahu bahwa ia tidak melihat pintu kamarnya terkuak, dan aku terus saja mendorong daun pintu itu sedikit demi sedikit.
Aku menyusupkan kepalaku ke celah pintu dan sedang membuka katup lentera, ketika jempolku tiba-tiba selip dan mengetuk lempengan penutup, dan si tua itu bangkit dari ranjangnya.

"Siapa itu?" teriaknya.

Aku mematung di tempatku dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam satu jam aku sama sekali tak bergerak. Selama itu, pula aku tak mendengar ia merebahkan tubuhnya lagi. Ia tetap duduk di ranjangnya dan mendengarkan. Seperti aku, malam demi malam. Mendengar detak jam kematian di dinding.

Tiba-tiba kudengar erangan kecil, dan aku tahu itulah erangan yang muncul. Karena, teror kematian. Bukan erangan, karena sakit atau dukacita. Sama sekali bukan. Itu suara lemah orang tercekik. Suara yang muncul dari dasar jiwa yang diteror kengerian. Aku kenal sekali dengan suara itu. Beberapa malam, tepat tengah malam, di saat dunia terlelap, suara itu bangkit dari dadaku, menusuk-nusuk. Gaungnya mengerikan. Sebuah teror yang menggelisahkan. Kubilang aku kenal betul suara itu. Aku tahu apa yang dirasakan orang tua itu, dan turut berduka atas kemalangannya, meskipun dalam hati aku ketawa. Aku tahu bahwa matanya tak pernah lagi terpejam, sejak ia dikejutkan oleh suara yang membangunkannya. Rasa takutnya tumbuh semakin besar. Ia coba menenangkan diri, tapi tidak bisa. Ia yakinkan dirinya sendiri, "Tidak ada apapun, hanya angin di cerobong asap – hanya tikus yang merayap," atau "hanya jangkrik yang mengerik." Ya, ia mencoba menenangkan diri dengan dugaan-dugaan seperti itu, tapi sia-sia. Sia-sia; sebab maut yang menguntitnya diam-diam kini telah mengepung korbannya dengan bayang-bayang hitam. Dan efek muram bayang-bayang yang tak tampak itulah yang menyebabkan ia merasakan -- bukan mendengar atau melihat. Namun merasakan -- kehadiran kepalaku di kamarnya.

Setelah cukup lama menunggu, dengan sangat sabar, tanpa mendengar ia membaringkan kembali tubuhnya, maka kubuka sedikit -- sedikit sekali -- katup lentera untuk membuka celah kecil. Kau takkan bisa membayangkan betapa hati-hatinya aku membuka katup itu. Sehingga, akhirnya seutas cahaya, setipis sulur benang laba-laba, memancar dari celah lentera dan jatuh tepat di mata burung pemangsa itu.

Mata itu terbuka, begitu lebar. Amarahku bangkit ketika melihat mata itu terbuka. Jelas sekali kulihat -- mata biru berkabut, dengan selaput yang mengerikan, yang menusukkan hawa dingin di sumsum tulangku. Namun, sama sekali tak kulihat wajah orang tua itu: sebab seolah dibimbing oleh naluriku, cahaya lentera kuarahkan tepat pada bulatan mata keparat itu.

Jadi, bukanlah yang kau sebut gila itu sesungguhnya adalah inderaku yang begitu tajam? Sekarang aku mendengar suara lemah, samar-samar, berdetak dalam tempo cepat seperti detak jam yang terbungkus kain. Aku kenal betul suara itu. Ialah bunyi detak jantung orang tua itu. Kemarahanku memuncak, sebagaimana keberanian seorang serdadu naik, karena pukulan genderang.

Kendati demikian aku masih menahan diri. Kutahan napasku. Kujaga lentera di tanganku. Kujaga agar sinarnya tetap jatuh ke matanya. Sementara detak jantung terkutuk itu temponya semakin meningkat. Makin lama makin cepat, dan makin keras. Ketakutan si tua itu, pastilah luar biasa! Suara itu makin keras, kubilang, bertambah keras setiap saat. Kau catatkah omonganku baik-baik? Telah kukatakan kepadamu bahwa aku gelisah: begitulah yang kurasakan. Dan sekarang pada jam kematian malam itu, di tengah kebisuan yang mencekam di rumah tua itu, dentam aneh itu menyiksaku layaknya sebuah teror yang tak tertanggungkan. Aku masih menahan diri beberapa menit dan tetap tak beraksi. Namun, dentam itu makin memekakkan. Kupikir jantungnya pasti segera meledak. Dan sekarang aku merasakan kecemasan baru -- para tetangga pasti akan mendengar bunyi itu! Tiba sudah waktu bagi si tua! Dengan teriakan keras, aku membuka semua katup lentera dan merangsek masuk ke dalam kamar. Sekali ia memekik, hanya sekali. Dalam sekejap aku menyeretnya ke lantai dan membekapnya dengan kasur tebalnya. Setelah itu, senyumku mengembang, semua pekerjaan beres. Bermenit-menit jantung itu masih berdetak samar-samar. Namun, tak lagi membuatku jengkel. Suaranya takkan mampu menembus dinding. Akhirnya bunyi itu berhenti. Si tua mati. Aku mengangkat kasur dan memeriksa mayatnya. Ya, ia sudah mati. Matanya takkan menyusahkan aku lagi.

Kalau masih kau anggap gila aku, anggapan itu tak akan berlaku lagi bila kulukiskan apa yang kulakukan untuk menyembunyikan mayatnya. Malam melarut, dan aku mengebut pekerjaanku, tanpa suara. Pertama-tama kumutilasi mayat itu. Kupenggal kepalanya, kedua lengannya, dan kedua kakinya.

Kemudian, kubongkar tiga bilah papan lantai kamar itu dan kumasukkan potongan-potongan tubuhnya ke dalam rongga di bawah lantai kamar. Setelah itu kukembalikan lagi papan lantai seperti semula, begitu sepele, begitu rapi. Sehingga, tak satupun mata -- termasuk mata si tua itu -- yang menemukan adanya kejanggalan. Tak ada yang perlu dicuci. Karena, tak ada ceceran noda apa pun. Tak ada bercak darah sekecil apa pun. Aku sangat waspada terhadap semua itu. Bak mandi sudah menampung semuanya. Ha! Ha!

Jam empat pagi semua pekerjaanku selesai sudah. Hari masih gelap seperti tengah malam. Bersamaan dengan dentang lonceng jam, terdengar ketukan di pintu depan. Aku turun dengan perasaan ringan. Apalagi, yang perlu ditakutkan kini? Kubuka pintu, tiga orang lelaki masuk. Mereka memperkenalkan diri dengan sangat sopan sebagai petugas-petugas kepolisian. Seorang tetangga mendengar pekik si tua itu semalam. Menduga ada tindak kejahatan, ia melapor kantor polisi. Dan mereka (para polisi itu) ditugasi untuk melakukan penyidikan atas kecurigaan si tetangga.

Aku tersenyum. Apalagi, yang perlu ditakutkan? Dengan ramah kupersilakan mereka masuk. Pekik itu, kataku, keluar dari mulutku di saat mimpi. Kujelaskan kepada mereka bahwa si orang tua sedang tidak di rumah. Lalu, kubawa mereka melihat-lihat seisi rumah. Kupersilakan mereka memeriksa -- memeriksa dengan teliti. Akhirnya, kubawa ketiga orang itu ke kamar si tua. Kuperlihatkan kepada mereka barang-barang berharga miliknya. Semua aman, tak tercolek. Dengan kepercayaan diri yang melambung, aku mengusung kursi-kursi ke dalam kamar itu. Dan meminta mereka untuk melepas lelah di tempat itu. Sementara aku sendiri, dalam gelegak keberanian, karena kemenangan yang sempurna, meletakkan kursiku tepat di atas tempat aku menyimpan mayat si tua.

Para petugas merasa puas. Perlakuanku meyakinkan mereka. Aku sendiri merasa tenang. Mereka duduk. Sementara aku menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan keseharian yang normal. Tapi, sebentar kemudian aku merasa parasku memucat dan berharap agar mereka segera pergi. Kepalaku pening, dan aku merasakan penging di telingaku. Namun, mereka tetap duduk dan bercakap-cakap. Suara penging itu makin jelas: terus-menerus dan makin jelas. Aku bicara lebih keras untuk mengusir perasaan itu. Namun, suara penging itu terus saja dan makin pasti. Sampai akhirnya aku sadar bahwa suara penging itu bukan di dalam telingaku.

Parasku, aku yakin makin memucat. Namun, bicaraku lebih fasih dan lebih lantang. Suara penging itu "bangkit". Aduh, apa yang bisa kulakukan? Kudengar suara lemah, samar-samar, yang berdetak dalam tempo cepat. Seperti, detak jam yang terbungkus kain. Napasku tersengal. Namun, para petugas itu tidak mendengarnya. Bicaraku lebih cepat, lebih meyakinkan. "Bebunyian" keparat itu makin kuat. Aku bangkit dan mendebat segala topik pembicaraan yang sepele, dalam nada tinggi dan gerak tubuh yang kasar. Dan bunyi itu terus menguat.

Mengapa mereka tidak mau pergi? Aku mondar-mandir dengan langkah panjang dan menghentak. Seolah-olah merasa terganggu oleh pemeriksaan yang mereka lakukan. Tapi, bunyi keparat itu terus menguat. Ya, Tuhan! Apa yang bisa kulakukan? Aku meradang. Aku meracau. Aku mengutuk! Kuangkat kursi yang kududuki dan kuhempaskan benda itu ke lantai papan. Namun, kegaduhan yang ditimbulkanya tertelan oleh bunyi detak keparat yang terus menguat itu. Suara itu makin kencang, makin kencang, makin kencang! Para petugas, tetap melanjutkan percakapan seperti tak terjadi apa-apa. Mereka cuma tersenyum. Bagaimana mungkin mereka tidak mendengar suara itu? Demi Tuhan! Tidak! Tidak! Mereka juga mendengar. Mereka curiga. Mereka tahu! Mereka pasti sedang menemoohkan ketakutanku. Kupikir begitu. Cara lain kurasa jauh lebih baik dari siksaan seperti ini! Cara lain apa pun lebih bisa ditanggungkan daripada pelecehan ini! Aku tidak kuat lagi melihat senyum pura-pura mereka. Aku merasa bahwa aku harus berteriak. Atau aku mampus! Dan sekarang, bunyi itu lagi. Dengar! Makin kencang. Makin kencang. Makin kencang!

"Jahanam!" aku memekik, "tak usah berpura-pura lagi! Aku yang melakukan semuanya! Bongkar saja papan ini di sini, di sini! Di sinilah dentam jantung keparat itu!"[]

Diedit seperlunya | Teks | Pic